Indonesia memiliki potensi bencana alam yang cukup tinggi. Bencana alam dapat terjadi pada berbagai daerah tak terkecuali pada daerah wisata yang sebetulnya sangat rentan terhadap isu keamanan dan keselamatan. Padahal, di berbagai daerah di Indonesia, banyak desa atau kelurahan yang bertumpu pada sektor wisata sebagai roda perekonomian desa. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kelurahan-kelurahan di Palu, Sulawesi Tengah. Masih berjalannya proses pemulihan di Kota Palu pasca bencana gempa dan tsunami tahun 2018, mulai menggerakkan sektor wisata untuk memacu perekonomian wilayah.

Menurut Syamsul Saifudin, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Palu, komoditas yang dimiliki oleh Kota Palu cenderung terbatas. Oleh sebab itu, kelurahan-kelurahan di Kota Palu dijadikan sebagai daerah destinasi wisata dengan potensi jasa, budaya, adat, dan infrastruktur penunjang. Namun, peristiwa bencana gempa bumi pada tahun 2018 silam telah berdampak cukup besar di Kota Palu terutama pada sektor ekonomi wisata yang telah menjadi motor penggerak perekonomian di berbagai kelurahan Kota Palu. Pasca bencana tersebut berbagai upaya dilakukan guna memulihkan sektor wisata di berbagai kelurahan. Upaya pemulihan dilakukan dengan terlebih dahulu memperkuat sumber daya manusia yang berperan penting pada sektor wisata. Selanjutnya, dilakukan penguatan dan pengembangan destinasi wisata dan IKM pariwisata yang kemudian dilanjutkan dengan perbaikan produksi guna mewujudkan destinasi wisata dan IKM pariwisata yang mandiri.

Pemulihan pasca bencana di berbagai daerah sangat ditentukan oleh perbedaan karakteristik wilayah masing-masing. Oleh sebab itu, identifikasi potensi bencana, kesesuaian lahan, potensi desa, isu strategis, hingga perumusan konsep pengembangan sangat diperlukan. Hal tersebut dapat dilihat misalnya pada upaya pemulihan pasca bencana di Desa Dieng, Desa Igirmranak, dan Desa Campursari yang berlokasi di Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Ketiga desa tersebut memiliki karakteristik wilayah dan isu strategis yang berbeda sehingga konsep pengembangan wisata yang dirumuskan sebagai upaya pemulihan pasca bencana juga harus disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Di Desa Igirmranak, konsep yang dikembangkan ialah perencanaan berbasis permakultur dan budaya, untuk mengurangi dampak bencana longsor pada daerah lereng pertanian. Konsep pengembangan tersebut berbeda dengan Desa Campursari yang berbasis masyarakat dengan memanfaatkan gas alam sebagai potensi pariwisata.

Desa wisata harus memiliki resistensi dalam menghadapi bencana. Terkait hal tersebut, penguatan komunitas dan sharing awareness di antara masyarakat setempat mengenai sektor pariwisata perlu digiatkan. Pemulihan pasca bencana sesungguhnya merupakan momentum berbenah bagi desa termasuk pada sektor wisata. Maka dari itu, masyarakat perlu dilibatkan lebih jauh sebagai modal dari ketangguhan sosial pasca bencana. Masyarakat yang tangguh juga diperlukan agar mampu menginisiasi berbagai inovasi pengembangan wisata sekalipun dalam kondisi bencana ataupun pandemi seperti yang terjadi saat ini. Pada kondisi pandemi saat ini misalnya, masyarakat lokal bersama dengan stakeholder setempat dapat tetap memanfaatkan peluang untuk tetap mempromosikan desa wisatanya secara online mengingat banyaknya masyarakat yang stay at home. Bencana dan pandemi bukanlah titik akhir dari upaya membangun desa wisata melainkan titik awal untuk pulih, bangkit, berbenah, dan memanfaatkan kembali potensi wisata desa yang dimiliki. (MEIP/NRT)

 

*Artikel ditulis berdasarkan Seri Webinar Masterplandesa #2 “Desa Wisata Bangkit Pasca Bencana”, Jumat, 29 Mei 2020