Pada Jumat, 26 Juli 2024, Masterplandesa.com mengadakan webinar dengan tema “Penataan Kampung Berbasis Partisipasi Masyarakat.” Acara ini berlangsung dari pukul 14.00 hingga 15.00 WIB, dan menampilkan Ardhyasa F. Gusma, founder A+A Studio dan principal architect PT Tripatra Consultant, sebagai pembicara utama. Moderator acara adalah Endah Dwi Fardhani, S.T., Direktur Caritra Yogyakarta, yang memfasilitasi diskusi antara hadirin dan narasumber.

Dalam presentasinya,  Gusma membahas tiga studi kasus yang mengilustrasikan penerapan penataan kampung berbasis partisipasi masyarakat. Studi kasus pertama adalah Penataan Kawasan Gerbang Pleret. Tujuan utama penataan ini adalah mengembangkan Desa Pleret yang sebelumnya belum memiliki rencana konkret. Gusma menjelaskan bahwa pendekatan filosofis yang diterapkan melibatkan integrasi antara Kotagede, Pleret, dan Imogiri. Kotagede direncanakan sebagai living museum untuk menonjolkan sejarah Mataram Islam, sementara Kerto Pleret akan menjadi open-site museum yang menggambarkan pusat kejayaan dan keraton tertua di Jogja, meskipun saat ini hanya tersisa puing-puing akibat peperangan. Imogiri, dikenal sebagai makam raja-raja, akan menambah nilai historis kawasan ini.

Gusma menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam Penataan Kawasan Gerbang Pleret, terutama terkait ketersediaan anggaran. Lurah Pleret yang sangat berkomitmen untuk pengembangan desanya, mengalami kesulitan finansial untuk memulai penataan ini. Awalnya, tidak ada dana yang memadai untuk memulai penataan. Namun, melalui pengajuan dana keistimewaan dari pemerintah dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pihak sponsor, penataan ini akhirnya dapat dilaksanakan. Dana keistimewaan memainkan peran krusial dalam menyelesaikan tahap awal penataan. Setelah Kawasan Gerbang Pleret selesai ditata, barulah pihak sponsor dan pendanaan tambahan mulai masuk. Hal ini menunjukkan pentingnya dukungan awal dalam memulai proyek berbasis masyarakat dan bagaimana kolaborasi berbagai pihak dapat mempercepat pelaksanaan proyek.

Studi Kasus kedua yang dibahas adalah Situs Kerto Pleret. Proyek ini fokus pada pengembangan situs budaya yang bertujuan menjadikannya daya tarik wisata edukatif. Situs ini dirancang untuk memperkenalkan pengunjung pada sejarah dan budaya Jogja melalui fasilitas yang mendukung pengalaman edukatif sambil melestarikan nilai-nilai historis.

Gusma kemudian membahas Studi Kasus ketiga: Penataan Kawasan Ketandan menjadi Teras Malioboro Ketandan. Proyek ini mengubah Ketandan menjadi destinasi wisata yang dinamis dengan menggabungkan elemen budaya lokal dan modern. Penataan ini bertujuan menjadikan Ketandan sebagai pusat aktivitas ekonomi dan sosial, dengan pembangunan pusat informasi, area parkir, dan ruang terbuka untuk mendukung berbagai kegiatan komunitas.

Selama sesi tanya jawab, moderator Endah Dwi Fardhani mengajukan berbagai pertanyaan dari hadirin kepada Gusma. Salah satu pertanyaan menyoroti cara meyakinkan masyarakat tentang manfaat jangka panjang proyek penataan. Gusma menjelaskan bahwa membangun kepercayaan publik memerlukan keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan. Transparansi dan komunikasi yang baik dapat membantu masyarakat memahami dan mendukung proyek tersebut.

Pertanyaan berikutnya terkait dengan durasi proses meyakinkan masyarakat. Gusma mengungkapkan bahwa waktu yang dibutuhkan bervariasi tergantung pada kompleksitas proyek dan kesiapan masyarakat. Proses ini memerlukan kesabaran dan keterampilan komunikasi untuk menjelaskan manfaat jangka panjang kepada semua pemangku kepentingan.

Pertanyaan mengenai anggaran Kalurahan Pleret dan dampaknya terhadap penataan desa lain juga dibahas. Gusma menjelaskan bahwa meskipun anggaran terbatas, strategi efisien dan kolaborasi dengan berbagai pihak dapat membantu mengatasi keterbatasan finansial. Dia menekankan pentingnya perencanaan matang dan penggunaan anggaran yang efektif. Untuk proyek serupa di kalurahan-kalurahan lain,  Gusma menyarankan beberapa potensi pendanaan yang dapat dimanfaatkan, seperti pemanfaatan lahan pemerintah yang tidak terpakai dan mekanisme kerjasama bagi hasil antara pemilik lahan dan pengelola. Selain itu, pendanaan dapat diperoleh melalui skema kerjasama publik-swasta dan dukungan dari lembaga non-pemerintah serta sponsor. Hal ini menunjukkan bahwa dengan strategi pendanaan yang tepat, penataan kawasan dapat dilakukan meskipun anggaran terbatas.

Peran Pemerintah DIY dan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam proyek penataan juga menjadi sorotan.  Gusma menjelaskan bahwa Pemerintah DIY menyediakan dana istimewa, sedangkan Pemerintah Kabupaten Bantul mendukung perencanaan dan pelaksanaan. Kolaborasi antara kedua pemerintah daerah sangat penting untuk mencapai kesuksesan proyek.

Pertanyaan terakhir membahas keberlanjutan desain dan penataan yang telah dilakukan.  Gusma menekankan bahwa keberlanjutan proyek memerlukan dukungan berkelanjutan dari masyarakat dan pihak terkait. Dukungan konsisten sangat penting untuk memastikan penataan dapat memberikan manfaat jangka panjang kepada komunitas.

Webinar ini memberikan wawasan berharga mengenai penataan kawasan berbasis partisipasi masyarakat. Melalui pendekatan kolaboratif dan perencanaan yang matang, penataan dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi kawasan yang dikembangkan.  Gusma menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat dan keterlibatan aktif masyarakat, penataan kawasan dapat sukses dan membawa manfaat besar bagi komunitas lokal. Selain itu, potensi pendanaan yang kreatif dan kolaboratif dapat membuka peluang bagi kalurahan-kalurahan lain untuk melaksanakan penataan kawasan serupa dengan efektif dan berkelanjutan.