Caritra Indonesia kembali menyelenggarakan Webinar Masterplan Desa 2024. Pada seri ke-2 ini, tema yang diangkat adalah “Lika-liku Undang-undang Desa”. Webinar dilaksanakan pada hari Jum’at, 22 Maret 2024 Pukul 14.00-16.00 WIB melalui zoom meeting. Narasumber dalam kegiatan webinar seri ke-2 ini adalah Wahyudi Anggoro Hadi yang merupakan Lurah Panggungharjo. Beliau merupakan penerima Paralegal Justice Award pada tahun 2022 dari Kementerian Hukum dan HAM, dan juga pendiri Lembaga Mediasi Desa Panggungharjo.
Webinar ini dilaksanakan sebagai upaya untuk mendiskusikan tantangan penerapan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa (Undang-Undang Desa), antara lain dalam hal pemberdayaan masyarakat desa, penyelesaian masalah masyarakat desa, pengelolaan keuangan dan aset desa, penguatan otonomi daerah, dan pengaturan tata kelola pemerintahan. Webinar ini juga membahas bagaimana mengatasi hambatan dalam penerapan Undang-Undang Desa, cara mengatasi permasalah dan isu yang ada di sekitar masyarakat desa melalui lembaga mediasi desa, cara menciptakan kemandirian desa, dan mengenai tumpang tindih kewenangan karena adanya Undang-Undang Desa.
Wahyudi Anggoro Hadi selaku pendiri Lembaga Mediasi Desa dalam webinar masterplan desa seri ke-2 dengan tema Lika Liku Undang-undang Desa ini, menjelaskan mengenai pentingnya desa memiliki Lembaga Mediasi Desa. Lembaga mediasi penting karena hidup bermasyarakat dalam desa itu sangat kompleks. Menurut Wahyudi, masalah individu atau masalah pribadi suatu keluarga dampaknya bisa sangat besar untuk masyarakat sekitarnya. Di sinilah fungsi dari Undang-Undang Desa agar terdapat hukum yang jelas. “Yang paling sering terjadi adalah sengketa lahan dan waris. Untuk menyelesaikan kasus tersebut butuh konfirmasi data, sehingga pada waktu itu mereka bercerita mengenai banyak hal. Masyarakat menyampaikan persoalan dan kronologis, kemudian diundang semua pihak. Pernah menangani kasus waris hingga membagi rumah.” Ujarnya saat menjelaskan mengenai bagaimana sistem kerja lembaga mediasi desa dan masalah yang paling marak ditemui pada dinamika masyarakat desa.
Dalam materi webinar yang disampaikan, dikatakan bahwa desa menjadi subjek utama dalam konteks pembangunan nasional. Adanya Undang-Undang Desa merubah relasi antara negara dengan desa. Undang-Undang Desa memiliki 13 asas, salah satunya adalah asas rekognisi. Asas tersebut menjadikan desa lebih diakui keberadaannya di mata hukum. Oleh karena itu, Wahyudi mengatakan bahwa agar desa dapat dijadikan ruang hidup yang layak sebaiknya terdapat perbaikan infrastruktur ekonomi, politik, sosial, dan teknologi sehingga dapat menciptakan kemandirian desa. Kemandirian desa merupakan kemampuan desa dalam mengelola kewenangan dan aset. Kemandirian desa terdiri dari kapasitas politik dan kepemimpinan, kapasitas sosial, dan kapasitas birokrasi dan proses.
Webinar Masterplan Desa 2024 seri ke-2 tentang “Lika-liku Undang-undang Desa” dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab. Beberapa hal yang ditanyakan antara lain adalah mengenai implementasi dari Undang-Undang Desa, yaitu berkaitan dengan kewenangan desa, perbedaan kapasitas sosial dan modal sosial desa, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dana desa, dampak dari undang-undang desa, hingga isu kapasitas politik dan kepemimpinan. Dalam sesi diskusi dan tanya jawab ini, Wahyudi Anggoro Hadi menjawab beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh peserta.
Apa perbedaan antara kapasitas sosial dan modal sosial?
Kapasitas sosial adalah sumber daya sosial yang dimiliki warga desa. Contoh Kalurahan Panggungharjo mempunyai 28 ribu jiwa, lebih dari 1000 orang sarjana, pendapatan domestik lebih dari 180 miliar. Kapasitas sosial dapat berubah menjadi modal sosial jika digunakan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan sekitar.
Bagaimana sistem pengawasan dan akuntabilitas diatur dalam UU Desa untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dana desa?
BPD yang menjalankan 3 fungsi, yakni legislasi, aspirasi, dan pengawasan. UU desa mendorong pengawasan internal yang diinisiasi pemerintah desa, yang melekat pada pemerintah desa untuk melaksanakan pengawasan internal. Selain itu, ada juga pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten seperti inspektorat dan BPK karena mengelola dana desa. Intinya sistem pengawasan berlapis-lapis.
Sejauh mana akuntabilitas/kemampuan dalam mengawasi yang dilakukan pemerintah kepada kepala desa
Idealnya kepala desa punya 5 kapasitas dasar: kapasitas regulasi, kapasitas ekstraksi potensi, kapasitas distributif (membagi kewenangan), kapasitas responsif, dan kapasitas jaringan. Kapasitas tersebut harus lahir dari politik yang baik kapasitasnya.
Pandangan terkait kearifan lokal impact dari Undang-Undang Desa dan dana desa, rasa gotong royong berkurang, rasa tenggang rasa berkurang karena adanya Program Padat Karya.
Seorang pemimpin yang buruk akan menggambarkan perilaku buruk dari mayoritas masyarakat, untuk menjaga proses demokrasi adalah tugas rakyat. Gotong royong bukan semata-mata kerjabakti tapi juga termasuk musyawarah, pengambilan keputusan, dan masih banyak lagi. Hilangnya sebagian dari tatanan desa bukan semata-mata karena adanya Undang-Undang Desa, bisa jadi karena memang nilai-nilai kemasyarakatan sudah mulai merosot. Gotong royong dengan padat karya hanya cocok di daerah-daerah tertentu, dan jadi pemimpin harus adil.
UU Desa mengenai struktur lama jabatan kepala desa, dan lainnya? Berlakunya pada tahun ini atau tahun depan?
Revisi UU Desa pada tahap pengesahan badan legislatif dan belum disahkan oleh DPRD, menunggu disahkan pada Sidang Paripurna. Sidang Paripurna akan dilaksanakan setelah masa reses. Revisi UU ini akan berlaku sejak ditetapkan, tidak harus menunggu satu tahun.
Isu kapasitas politik dan kepemimpinan ini yang masih menjadi PR, bagaimana desa mampu melahirkan kader kepala desa yang mumpuni? Apalagi di desa yang jauh dari pusat pemerintahan kabupaten.
Proses kaderisasi dilakukan secara organis, agar warga desa bisa menyeimbangkan talentanya dalam ruang-ruang itu untuk mengasah kemampuannya hari ini dan kedepannya. Kaderisasi memiliki banyak pilihan, dan kami menggunakan pendekatan organis agar warga desa, pemuda, dapat lebih terlibat dan kemampuannya bertumbuh secara organis. Lembaga-lembaga desa diharapkan dapat menjadi ruang untuk pengembangan kemampuan masyarakat agar dapat mengelola aset desa.
Hal yang strategis dari UU desa adalah bukan dari dana desa tetapi dari kewenangannya. Kira-kira persepsi atau paradigma seperti apa yang bisa disatukan untuk dijadikan pembelajaran bagi semua desa, dan kewenangan yang paling urgent dilakukan karena yang terjadi di lapangan banyak sekali kewenangan desa diambil alih oleh Bupati. Kepala desa tidak buat berbuat apa-apa karena ada asistensi dan tidak diberikan kewenangan saat asistensi?
Adanya perubahan paradigma bahwa UU Desa hanya fokus pada dananya saja, padahal yang terpenting adalah masalah kewenangan desa. Oleh karena itu revisi UU Desa dengan penambahan lama jabatan kepala desa, perlu untuk menyamakan kedudukan UU Desa dengan 21 UU yang lain; bukan terletak pada besarnya dana desa, tetapi bagaimana harmonisasi UU Desa dengan 21 UU lain yang mempunyai irisan yang sama dengan UU desa (yang selama ini tumpang tindih).
Pada akhir diskusi bapak Wahyudi selaku Lurah Panggungharjo menambahkan bahwa menurutnya tumpang tindih kewenangan tidak terhindarkan, jika hanya ditarik sana sini kapan desa akan mandiri? Dalam hal ini masih memandang desa sebagai bawahan kabupaten. Sejak ada UU Desa, desa bukan bawahan daerah tapi bagian langsung pemerintah, tidak lagi menggunakan lambang daerah tetapi sudah lambang negara. Kalurahan Panggungharjo memiliki dana lain selain dari pemerintah, sehingga Kalurahan Panggungharjo memiliki kekuatan lebih untuk berbicara dengan pemerintah dibandingkan yang lain. (ASN)