Sudah tak asing lagi bagaimana sejarah ikut mewarnai keberagaman Indonesia kini. Dengan sejarah yang cukup panjang, tak heran jika Indonesia memiliki banyak potensi akan situs-situs bersejarah. Pada webinar masterplandesa.com kali ini, diulas topik terkait desa situs bersejarah dengan narasumber yaitu Sigit Asmodiwongso sebagai penggiat wisata budaya dan desa serta Wahyu Utami, seorang peneliti dan pemerhati pusaka saujana.
Webinar dibuka dengan pemaparan dari narasumber Sigit Asmodiwongso mengenai tantangan, peluang, dan harapan pada situs bersejarah yang berlokasi di daerah Gombong, Kebumen. Kawasan Gombong ini memiliki situs-situs bersejarah mulai dari zaman pra sejarah, megalitikum, Mataram Islam, hingga kolonial. Peninggalan-peninggalan yang ada di daerah Gombong berupa benteng-benteng pertahanan Belanda pasca perang Jawa, makam dan petilasan pasca Perang Diponegoro, serta batu lumpang dan punden berundak inilah yang membuat Gombong berpotensi menjadi sebuah kota bersejarah.
Namun dengan begitu banyak potensi yang dimiliki, Gombong sebagai situs sejarah di wilayah pedesaan masih menghadapi beberapa tantangan dalam upaya konservasi situs-situs bersejarahnya. Tantangan-tantangan tersebut di antaranya:
- Kurangnya dokumentasi, pengetahuan lokal, penelitian, serta diseminasi hasil penelitian;
- Menemukan relevansi dengan kehidupan lokal serta membangun signifikansi situs bagi masyarakat
- Edukasi dan advokasi terkait konservasi situs bersejarah
Meskipun demikian terdapat beberapa peluang dalam pengembangan desa situs bersejarah. Beberapa hal yang dinilai sebagai peluang pengembangan desa situs bersejarah khususnya Gombong diantaranya adalah adanya Pergub Jateng No. 32 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat-Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat di Provinsi Jawa Tengah, pelibatan masyarakat lokal dalam penyelenggaraan wisata sejarah budaya, serta penyusunan kurikulum muatan lokal di sekolah sebagai bentuk edukasi dini terhadap generasi penerus terkait potensi situs sejarah yang ada di sekitarnya.
Webinar kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dari narasumber Wahyu Utami. Menurut pandangannya masyarakat dan potensi desa adalah hal utama yang saling terkait dan harus ditanamkan. Nilai dan sejarah memang penting dalam pengembangan ekonomi pusaka tetapi perlu juga didorong dengan adanya dinamika kebutuhan. Namun perlu diperhatikan bahwa masyarakat juga perlu dipahamkan terkait potensi kawasan sehingga masyarakat juga dapat menjaga nilai-nilai yang ada jangan sampai nantinya mengalami kebingungan ketika investor berdatangan dan menyebabkan degradasi pada nilai dan sejarah yang ada seperti kasus yang terjadi di Danau Toba dan Borobudur. Oleh karena itu, masyarakat perlu disiapkan untuk memiliki ketangguhan dan kesiapan akan kemungkinan semacam itu di kemudian hari. Pengembangan kawasan juga dapat diarahkan pada Kawasan Ekonomi Berbasis Pusaka dimana tetap mempertahankan nilai dari kawasan. Disamping itu, menurutnya, regenerasi juga menjadi salah satu cara untuk melestarikan nilai kawasan agar tidak berubah jauh dari aslinya tanpa kemauan masyarakat desa itu sendiri.
Dalam pengembangan wisata pada kawasan situs bersejarah, menurut Wahyu Utami, juga semestinya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan wisata pada kawasan situs bersejarah ini utamanya terletak pada ketidakmampuan beradaptasi sesuai dengan perubahan zaman sehingga melestarikan apa yang sudah ada di suatu kawasan menjadi kunci utama dari pengembangan wisata pada kawasan situs bersejarah.
Selanjutnya sesi diskusi dalam webinar diwarnai dengan berbagai pertanyaan yang menarik. Salah satu contohnya adalah bagaimanakah strategi agar masyarakat ikut mendapatkan dampak positif dari pengembangan wisata bersejarah dengan keterbatasan pengubahan lahan dan tidak punya kewenangan untuk memanfaatkan potensi tersebut. Menurut Sigit Asmodiwongso, salah satu strateginya adalah dengan membuat paket wisata dan mengangkat atraksi kesenian dari warga lokal. Selain itu, menurut Wahyu Utami, local knowledge dan kesiapan perlu menjadi fokus utama dalam hal ini. Seringkali masyarakat mengalami keterbatasan perihal pengetahuan dan juga kemampuan seperti bahasa yang mana hal ini membatasi peran mereka dalam pengembangan wisata desa bersejarah. Dalam hal ini perlu adanya pelatihan untuk mempersiapkan masyarakat terkait pengembangan wisata desa bersejarah sehingga masyarakat pun bisa berdaya tahan terutama menghadapi perubahan di era milenial dan digital saat ini.
Webinar kemudian ditutup dengan pernyataan dari peserta yakni Gunung Radjiman (PSPPR UGM) serta narasumber Sigit Asmodiwongso. Gunung Radjiman menyampaikan bahwa masyarakat sekitar harus tanggap terhadap potensinya. Selain itu, perlu adanya upaya pengembangan dan disertai dengan kewenangan Pemda setempat untuk mengembangkan kawasan wisata, sehingga ada koordinasi antara masyarakat, Pemda, dan investor lokal. Kemudian ditutup oleh pernyataan akhir narasumber Sigit Asmodiwojo yaitu pengelolaan itu berpusat pada warga, sehingga kedaulatan mengambil keputusan berada di tangan desa. Pendampingan dengan masyarakat desa perlu ditekankan. (SCA/MG)