Di Indonesia, hingga saat ini penyandang disabilitas masih hidup dalam kondisi yang rentan, terbelakang, dan miskin karena adanya keterbatasan akses, baik fasilitas publik, pekerjaan, transportasi, dan kehidupan yang layak. Berdasarkan data Susenas pada tahun 2018 terdapat 30,38 juta penduduk atau 14,2% penduduk yang hidup dengan disabilitas.
Kabupaten Wonosobo memiliki sebanyak 3.913 penyandang disabilitas pada tahun 2020 dengan perincian tuna rungu sebanyak 461 orang, tuna netra sebanyak 414 orang, tuna daksa sebanyak 1.768 orang, disabilitas ganda (fisik dan mental) sebanyak 230 orang, tuna laras sebanyak 417 orang, serta tunagrahita sebanyak 623 orang (Dinsos Kab. Wonosobo Tahun 2020). Desa Maron merupakan salah satu desa di Kecamatan Garung yang berupaya mengatasi permasalahan tersebut. Berdasarkan data, Desa Maron memiliki jumlah penyandang disabilitas sebanyak 29 orang.
Lalu, apa yang menarik dari Desa Maron dibandingkan dengan desa lainnya di Kab Wonosobo?
Desa Maron merupakan salah satu desa wisata yang terletak di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo dengan luas wilayah ± 2,77 km2 dan berada pada ketinggian 1300 mdpl. Seperti desa wisata di Kabupaten Wonosobo lainnya, keindahan alam Desa Maron mampu menarik banyak pengunjung baik dari dalam maupun luar daerah. Telaga Menjer merupakan salah satu destinasi favorit pengunjung yang berada di desa ini. Namun, yang membedakan Desa Wisata Maron dengan desa wisata lainnya di Kabupaten Wonosobo, yakni Desa Wisata Maron tidak hanya menonjolkan keindahan alam saja. Dalam hal ini Desa Wisata Maron melakukan kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat penyandang disabilitas, terutama tunagrahita melalui inovasi pembuatan batik ciprat.
Desa yang dapat meningkatkan partisipasi warganya berpotensi untuk lebih maju dalam perkembangan ekonominya. Mahditia Paramita menjelaskan bahwa terdapat tingkatan partisipasi masyarakat dalam membangun desa, yaitu: 1) ikut serta dalam kegiatan; 2) menerima manfaat kegiatan; 3) melaksanakan kegiatan; 4) konsultasi; 5) penerapan keterampilan; dan 6) merencanakan kegiatan bersama (Paramita, 2023). Terdapat satu tingkatan yang lebih tinggi, yaitu masyarakat yang ikut mengontrol pemerintah dalam tahapan pembangunan. keterlibatan masyarakat sangat penting karena dapat menjadi sumber informasi dan pelaksana dalam program yang dijalankan.
Program pelatihan pembuatan batik ciprat di Desa Maron dimulai sejak tahun 2018 yang dilatarbelakangi oleh tingginya angka penyandang disabilitas di Kabupaten Wonosobo. Tujuan dari program tersebut adalah memberikan kesempatan kerja dan keterlibatan sosial bagi masyarakat penyandang disabilitas agar mereka dapat memiliki penghasilan mandiri. Selain itu, agar mereka merasa dihargai keberadaannya sebagai bagian penting dari lingkungan masyarakat. Pemerintah Desa Maron berkolaborasi dengan Dinas Sosial Kabupaten Wonosobo, Dinas Sosial Temanggung, KSM Tali Asih, serta komunitas lokal di Desa Maron (Winarni, dkk., 2021) dalam implementasi program ini.
Sesuai dengan namanya, pembuatan batik ciprat ini sangat sederhana dengan cara mencipratkan larutan malam pada kain putih. Cipratan-cipratan tersebut terbentuk menggunakan tangan, sendok, kuas, dan lidi yang hasilnya berupa motif yang abstrak. Bahan yang digunakan pun sama dengan batik pada umumnya, seperti alat pembentang kain dari pipa PVC, kuas, spon, lilin, pewarna remasol, kain, pengunci warna, kompor, dan panci.
Hingga saat ini jumlah masyarakat penyandang disabilitas yang aktif membuat batik ciprat sebanyak 10 orang dengan total produksi tiap harinya mencapai 10 lembar kain. Produk kain batik ciprat yang telah jadi masih dipasarkan di lingkup Pemda Kabupaten Wonosobo, dan beberapa kota di sekitarnya. Tidak hanya itu, batik ciprat tersebut juga pernah dibeli oleh Menteri Parekraf, Sandiaga Uno. Dengan adanya program pemberdayaan pembuatan batik ciprat, masyarakat penyandang disabilitas di Desa Maron yang dulunya tidak memiliki kegiatan, kini mereka telah memiliki aktivitas dan penghasilan tambahan.
Desa Wisata Maron menunjukkan bahwa keberhasilan kegiatan wisata tidak hanya terletak pada keindahan alam saja, melainkan juga pada inklusi masyarakat, terutama penyandang disabilitas. Melalui pendekatan inovatif, Desa Wisata Maron membuktikan bahwa pemberdayaan penyandang disabilitas tidak hanya memberi manfaat sosial, tetapi juga menciptakan peluang baru berupa lapangan kerja yang berkelanjutan. Penyandang disabilitas dapat mandiri bahkan menghasilkan karya seni yang tidak hanya membanggakan tetapi juga mampu meningkatkan nilai ekonomi wilayah. (WMa)
Sumber Referensi:
Atmojo, W. T., (2022, Juni 16). Batik Ciprat Berdayakan Penyandang Disabilitas di Desa Maron Wonosobo. Wonosobozone.com. Diakses dari https://www.wonosobozone.com/berita/pr-4673667604/batik-ciprat-berdayakan-penyandang-disabilitas-di-desa-maron-wonosobo pada 17 April 2024.
Chakim, M. N., (2022, September 6). Uniknya Batik Ciprat Wonosobo: Wadah Disabilitas Berkarya. Suara Merdeka Kedu. Diakses dari https://kedu.suaramerdeka.com/kedu/pr-214540205/uniknya-batik-ciprat-wonosobo-wadah-disabilitas-berkarya pada 17 April 2024.
Garung Bernaung. (2023). Desa Maron. telagamenjerwonosobo.com. Diakses dari https://telagamenjerwonosobo.com/desamaron/ pada 17 April 2024.
Paramita, Mahditia. (2023). Masterplan Desa. Yogyakarta: Yayasan Hunian Rakyat Caritra Yogyakarta.
Winarni, L., Afni, I. N., & Wirawan, R. (2021). Collaborative Governance dalam Pemberdayaan Masyarakat Disabilitas di Desa Maron Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, 19(2), 137-143.