Salah satu paradoks dari kemakmuran perkebunan sawit yaitu keberadaan pekerja-pekerja anak di bawah umur, misalnya yang terjadi di Pulau Kalimantan. Kategori yang termasuk anak di dalam tulisan ini merujuk pada Pasal 1 angka 26 UU Ketenagakerjaan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. Di konteks pertanian dan perkebunan di Indonesia, pekerja anak di bawah umur jamak dijumpai (Semedi & Nooteboom, 2018; Wulansari, dkk., 2023). Dalam skala makro, data dari Sakernas tahun 2020 mencatat bahwa mayoritas anak berusia 10-17 tahun bekerja di sektor informal hingga sebanyak 88,77% dan di dalam sektor pertanian terdapat lebih dari 4 juta pekerja anak di Indonesia yang sebanyak 20,7% di antaranya terjebak dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (BPTA) (Save the Children, 2021). Di dalam konteks perkebunan sawit di Pulau Kalimantan, semestinya keberadaan pekerja anak bisa hilang seiring dengan kemakmuran ekonomi yang diperoleh oleh sebuah desa perkebunan.
Sampai dengan tahun 2022, harga jual sawit berada di angka Rp 2.000/kg (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2022). Jika penelusuran Semedi (2014) menemukan bahwa sebuah desa di Pulau Kalimantan, bisa memperoleh keuntungan hingga 26-39 miliar/bulan dari hasil produksi buah sawit segar sebesar 20-30 ribu ton/bulan dengan harga Rp 1.400/kg, maka kira-kira keuntungan tahun 2022 dengan jumlah produksi serupa bisa mencapai sekitar 37-47 miliar/bulan. Tingginya kemakmuran ekonomi itu semestinya berjalan beriringan dengan pemberdayaan sistem kerja di perkebunan yang tidak lagi mengerahkan anak-anak untuk bekerja di perkebunan. Dengan kata lain, tiap keluarga dapat menggunakan keuntungan ekonomi dari hasil perkebunan itu untuk menyekolahkan anaknya, sehingga anak-anak di bawah umur tidak lagi bekerja di perkebunan. Nyatanya, Ghani & Afriansyah (2023) masih menemukan pekerja anak di perkebunan sawit yang melakukan pekerjaan berbahaya, terutama di kalangan petani sawit skala kecil.
Lantas mengapa di tengah kemakmuran ekonomi yang sedemikian tinggi, pekerja anak masih hadir di perkebunan sawit? Alih-alih sekadar menjadi pembawa untung semata, tingginya kemakmuran ekonomi ternyata menimbulkan permasalahan baru berkaitan dengan penyaluran uang hasil bekerja ke hal-hal yang kurang produktif. Akibatnya, keuntungan ekonomi justru menimbulkan kemiskinan sosial yang signifikan dan berkontribusi pada keberlanjutan pekerja anak.
Di kalangan petani sawit, baik yang makmur maupun miskin, pekerja anak tetap ada karena orang tua mengajak mereka ke perkebunan dengan dalih membantu pekerjaan dan secara langsung berkontribusi pula pada penghasilan keluarga (Ghani & Afriansyah, 2023; Pasaribu & Vanclay, 2021). Berbeda dengan di perkebunan teh di Pulau Jawa, keberadaan pekerja anak di perkebunan kian menurun seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga, tersedianya pendidikan publik yang terjangkau, dan perkembangan teknologi produksi perkebunan (Semedi dan Nooteboom, 2018). Tidak mengherankan, sejumlah studi di perkebunan sawit Pulau Kalimantan, menemukan bahwa keuntungan hasil perkebunan mayoritas masih disalurkan untuk kegiatan-kegiatan non-produktif seperti berjudi, mengonsumsi minuman beralkohol berlebihan, dan melakukan prostitusi (lihat Li, 2014; Potter, 2008; Rahmadian, 2024; Semedi, 2014). Konsumsi berlebihan pada hal-hal non-produktif seiring dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi dari perkebunan sawit itu membuat kualitas kehidupan sosial-ekonomi beberapa keluarga petani menurun. Secara sosial, konsumsi berlebihan pada hal-hal non-produktif itu berkontribusi pada konflik domestik keluarga. Secara ekonomi, keuntungan ekonomi hasil bekerja dibuang-buang begitu saja, alih-alih digunakan kembali untuk hal-hal produktif misalnya investasi di rantai produksi sawit atau pendidikan anak.
Apabila pola pengelolaan uang di kalangan petani sawit tidak terarah dengan baik, salah satu dampaknya yaitu keberadaan pekerja anak di perkebunan akan masih terus berlanjut. Hal itu bisa terjadi karena meskipun secara makro perkebunan sawit dapat mendatangkan kemakmuran, tetapi pada tingkat rumah tangga, kemakmuran bisa menurun seiring pola konsumsi yang berlebihan pada hal-hal non-produktif. Jika perusahaan yang sudah membayar pekerja perkebunan sesuai upah layak saja masih mendorong terjadinya pekerja anak (Pasaribu dan Vanclay, 2021), maka ada kemungkinan besar pekerja anak tetap berlanjut apabila kondisi ekonomi suatu rumah tangga kian menurun akibat konsumsi non-produktif yang berlebihan. Oleh karena itu, kiranya dalam pengentasan pekerja anak di perkebunan sawit selain dengan pembangunan pendidikan yang terjangkau untuk generasi muda, perlu juga dibarengi dengan upaya pemberdayaan yang mengarahkan pengelolaan uang masyarakat setempat ke arah yang lebih produktif. (MHH)
Referensi
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2022). Statistik Perkebunan Unggulan Nasional. Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Ghani, M. W., & Afriansyah, A. (2023). Potrait of Child Labor in Small-Scale Oil Palm Plantations: Dilemma Between Education and Work. Jurnal Masyarakat Indonesia, 49(2), 175-190. 10.14203/jmi.v49i2.1262
Li, T. M. (2014). The Gendered Dynamics of Indonesia’s Oil Palm Labour Regime [Working Paper Series 225]. Ari Research Institute. Singapore: National University of Singapore.
Pasaribu, S. I., & Vanclay, F. (2021). Children’s Rights in the Indonesian Oil Palm Industry: Improving Company Respect for the Rights of the Child. Land, 10(500), 1-21. https://doi.org/10.3390/land10050500
Potter, L. (2008). Dayak Resistance to Oil Palm Plantation in West Kalimantan, Indonesia. paper presented at the 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia, Melbourne, 1-3 July. https://openresearch-repository.anu.edu.au/bitstream/1885/36699/2/01_Potter_Dayak_resistance_to_oil_palm_2008.pdf
Rahmadian, G., de Jong, E. B. P., & Kutanegara, P. M. (2024). Wandering under the Oil Palm Canopy: Shifting Alcohol Use in the Aftermath of Oil Palm Cultivation, West Kalimantan, Indonesia. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 180, 242-273. 10.1163/22134379-bja10061
Save the Children. (2021, Juni 23). Indonesia Hadapi Tantangan Pekerja Anak di Sektor Pertanian, Lebih dari 800.000 Anak Terjebak dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak [Siaran Pers Bersama].
Semedi, P. (2014). Palm Oil Wealth and Rumour Panics in West Kalimantan. Forum for Development Studies, 41(2), 233-252.
Semedi, P., & Nooteboom, G. (2018). The Development and Demise of Child Labour in a Javanese Tea Plantation, 1900-2010. HUMANIORA, 30(3), 325-341. doi.org/10.22146/jh.v30i3.39588
Wulansari, A., Taufik, & Oktavian, A. (2023). Handling Child Labor Problems in Indonesia: Post PROMOTE-ILO Project. Insignia Journal of International Relations, 10(1), 94-116.