Di kota-kota besar di Indonesia, terkhusus Pulau Jawa, nampak banyak sekali perkebunan tebu juga pabrik-pabrik lawas pengolah gula. Nampaknya, gula menjadi komoditas prioritas dari zaman penjajahan hingga saat ini. Bagaimana awal mula pabrik-pabrik itu hadir? Apa implikasinya terhadap perkembangan produksi gula saat ini?
Produksi & Kebutuhan Gula Terus Meningkat
Produksi gula tebu di Indonesia dalam tahun 2017-2021 mengalami tren peningkatan luas panen sebesar 0,96% per tahun. Pada tahun 2021, tercatat perkebunan tebu seluas 449 008 Ha dengan menghasilkan 2.348.331 ton gula. Tahun berikutnya (2022), luas areal seluas meningkat menjadi 490.007 Ha serta mampu menghasilkan produksi gula dari perkebunan tebu sejumlah 2 402 648 ton. Selain itu, sumbangsih kontribusi produksi gula pada tahun 2017-2021 didominasi dari Pulau Jawa sebanyak 57,86 %..
Meskipun produksi gula tebu di Indonesia meningkat, kebutuhan gula nasional masih sangat tinggi. Indonesia selalu mengimpor gula di atas 4 juta ton per tahun selama periode 2016-2019, sebagian besar gula yang diimpor Indonesia berasal dari Thailand (katadata). Kembali pada topik awal, bagaimana sejarah ‘gula’ ini?
Bagaimana Awal Mula Tebu dan Involusi Pertanian?
Kebijakan kolonial Hindia Belanda (1619-1942) yang membawa produk pertanian Indonesia ke pasar dunia menjadi awal mula semua ini. Pada saat itu, Belanda tidak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara kompeten, sehingga menimbulkan efek domino yang mengorbankan para petani yang harus dipaksa untuk terus berproduksi guna memenuhi kebutuhan pasokan melalui sistem tanam paksa 1830- 1870 dan sistem liberal 1870-1900. Syahbuddin (2018) berpendapat bahwa kedua kebijakan tersebut adalah cikal bakal involusi pertanian di Jawa.
Banyaknya lahan-lahan pertanian yang digunakan untuk menanam tanaman ekspor dan menyerap tenaga kerja membuat terbatasnya lahan dan pekerjaan petani. Disaat yang sama, jumlah penduduk kian bertambah. Istilah “involusi,” pertama kali diperkenalkan oleh antropolog Alexander Goldenweiser, mengacu pada kondisi ketika suatu budaya tidak mampu beradaptasi atau memperluas perekonomiannya, melainkan berkembang hanya menuju kompleksitas dan inefisiensi internal tanpa memberikan manfaat ekonomi yang signifikan (Hui, 2009 dalam McCullough, 2019). Fenomena ini, seperti yang dijelaskan oleh Geertz, terlihat pada peningkatan hasil pertanian per hektar yang tidak diiringi kenaikan pendapatan masyarakat, sehingga petani tetap terjebak dalam kemiskinan struktural dan peluang ekonomi yang sangat terbatas (Geertz, 1963).
Kedatangan Belanda memperparah keadaan ini. Belanda memaksa rakyat untuk meningkatkan hasil pertanian demi ekspor melalui kebijakan seperti pertanian monokultur (menanam satu jenis tanaman dalam skala besar) dan mengubah sistem sawah dari menanam padi menjadi tebu. Teknologi irigasi yang mereka perkenalkan bukan untuk membantu petani, tetapi untuk mendukung eksploitasi kolonial mereka. Selain itu, melalui “sistem kebudayaan”, rakyat dipaksa kerja rodi, membayar pajak berat, dan menyerahkan hasil tanah mereka kepada pemerintah kolonial yang secara sepihak hanya menguntungkan Belanda dan pemilik perkebunan—rakyat kecil tetap menderita. (Geertz, 1963)
Pelajaran yang Dipelajari
Dengan kemerdekaan setelah Perang Dunia II, pertumbuhan industri, pertumbuhan modal melalui PDB, dan perbaikan lembaga publik, diharapkan dapat memberdayakan masyarakat Indonesia pasca runtuhnya kolonialisme. Bahkan mungkin hingga saat ini, hal ini tidak terjadi secara utuh. Geertz (1963) memberikan jawaban yang terletak di dalam industri yang secara historis memegang kekuasaan besar atas budaya Indonesia, yakni sector pertanian.
Kita semua harus mengamini bahwa permasalahan sosial, budaya, dan politik yang merupakan akibat dari kolonialisme Belanda tetap terasa hingga saat ini. Bedanya, saat ini berubah dalam bentuk sistem neo-kolonial korporat yang menjadi penanggungjawab degradasi ekologi paling cepat di dunia (Aldilla, Achmad & Josi, 2013 dalam McCullough, 2019). Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian adalah salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan. Intensifikasi juga ekstensifikasi guna meningkatkan produksi masih belum menjadi jawaban atas kurangnya pasokan gula.
Dampak pahit involusi pertanian dari ‘kolonialisme’ diawali dengan program pembukaan lahan secara ugal-ugalan. Sejarah nampaknya akan tercatat kembali, jika pembangunan pertanian atau perkebunan terkini—food estate misalnya—tidak memerhatikan sisi ekologis juga sosial budaya yang ada. Kolonialsme ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagaimana intensifikasi atau ekstensifikasi pertanian secara “ugal-ugalan” akan menimbulkan dampak masalah genting lainnya. (MTYR)
Referensi :
Geertz, C. (1963). Agricultural involution: The processes of ecological change in Indonesia (Vol. 11). Univ of California Press.
McCullough, C. (2019). Review of “agricultural involution: the processes of ecological change in Indonesia” by Clifford Geertz.
https://satudata.pertanian.go.id/assets/docs/publikasi/Buletin_Tebu_TWII_2021.pdf
https://www.bps.go.id/id/publication/2023/11/30/3296e8514178dfdad17fc500/statistik-tebu-indonesia-2022.html