-Studi Kasus Desa Waekekok-
Wilayah dengan industri pertanian yang baik dapat memberikan kehidupan yang lebih mandiri. Wilayah yang sudah mandiri pangan ini dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tanpa perlu bergantung dari pihak luar. Untuk menciptakan sebuah industri pertanian yang baik, diperlukan komponen-komponen pendukung seperti ketersediaan air, keterlibatan masyarakat, dan sumber daya manusia yang memadai.
Desa Waekekok di Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu desa yang memiliki potensi lahan pertanian. Desa ini terletak di Kecamatan Aesesa Kabupaten Nagekeo. Desa Waekekok atau yang biasa disebut juga dengan Desa Mbay Kiri oleh warga setempat ini memiliki hamparan lahan kosong yang luas. Lahan yang belum dimanfaatkan ini berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Topografi lahan di desa ini cenderung kering dan berada di dataran rendah. Rolandus, salah seorang warga desa mengatakan bahwa sebenarnya ketersediaan air di desa Waekekok sangat melimpah. Sumber air ini berasal dari Bendung Sutami, yang dialiri dari sungai Esesa. Hanya saja, jaringan irigasi masih belum rampung dan masih dilakukan pengembangan pengairan.
Pada awalnya, kawasan Mbay kiri (Desa Waekekok) dan Mbay Kanan yang ada di sebelahnya merupakan kawasan strategis pertanian. Pemerintah mengupayakan pengembangan dengan mencetak lahan persawahan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Saat ini, Kawasan Mbay Kanan sudah terlihat hijau secara menyeluruh, dipenuhi dengan lahan pertanian yang memadai. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku sama dengan kawasan Mbay Kiri karena adanya kendala-kendala yang menghambat pengembangan. Terjadi penolakan oleh beberapa warga untuk menjadikan lahan sebagai lahan pertanian. Hal inilah yang membuat pengembangan wilayah pertanian hanya terlaksana sebagian saja atau belum sepenuhnya. Selain itu, beberapa warga justru menjadikan lahan pada kawasan Mbay Kiri sebagai tambak garam dan menjanjikan bentuk usaha untuk masyarakat setempat. Hanya saja, tambak garam ini tidak berhasil dan tidak dilanjutkan.

Tambak Garam di Desa Waekekok. Sumber: SorotNTT.com
Tantangan untuk menjadikan Desa Waekekok sebagai lumbung pangan justru muncul dari masyarakatnya sendiri. Pola pikir masyarakatnya menghambat proses pengembangan yang telah direncanakan sebelumnya. Menurut Rolandus, masyarakat Desa Waekekok memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Anak mudanya juga memilih untuk merantau dan mencari pekerjaan di kota sehingga tidak adanya sumber daya manusia yang cukup memadai untuk turut serta melakukan pengembangan desa terutama di bidang pertanian. Masyarakat desa perlu diarahkan dan diyakinkan untuk dapat menerima kebiasaan yang dilakukan secara berkelanjutan, yakni bertani dan menjadi desa mandiri pangan. Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh pihak yang terkait, termasuk masyarakat desa itu sendiri.
Rolandus berpendapat bahwa perlu diadakan pendampingan dan sosialisasi terkait pengembangan desa dengan lumbung pangan ini. Perlu diadakan pelatihan kepada masyarakat, guna menciptakan budaya bertani yang berkelanjutan. Selain itu, masyarakat perlu mengetahui cara memasarkan produk hasil pertanian mereka. Rolandus juga berharap, anak-anak muda lebih sadar akan potensi yang dimiliki desanya sendiri dan ikut serta dalam pengembangan desa. Karena bagaimanapun juga, potensi ini dapat mengubah kualitas hidup masyarakat yang ada didalamnya. (AFH/SA)
Daftar Pustaka
Rolandus & Susilawati. (2022). Webinar masterplan desa 21: Mendirikan Desa dengan Lumbung Pangan. Diakses pada 5 Oktober 2022. https://www.youtube.com/watch?v=UFRfhLW0hXE