Indonesia berada di peringkat ke-9 dunia sebagai penyumbang gas emisi rumah kaca terbesar. Deforestasi juga memainkan peran besar: Indonesia adalah salah satu negara dengan emisi lahan (land-use) tertinggi secara global, yang banyak disebabkan oleh konversi hutan dan lahan gambut. Untuk merespons kondisi ini, Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% secara mandiri, hingga 43,2% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Dalam jangka panjang, Indonesia menargetkan mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Angka-angka tersebut bukan sekadar komitmen politik, melainkan cerminan dari urgensi transisi menuju sistem pembangunan yang lebih berkelanjutan. Di tengah tekanan global terhadap krisis iklim, pembangunan rendah karbon muncul sebagai arah strategis yang tidak hanya bertujuan menurunkan emisi, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Pendekatan ini berusaha mengurangi intensitas karbon dari berbagai sektor utama tanpa menghambat laju pembangunan.

Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, justru paling rentan terhadap dampak perubahan iklim terutama di kawasan pesisir, pertanian lahan kering, dan wilayah gambut. Kenaikan suhu, perubahan pola curah hujan, dan bencana hidrometeorologi kini terjadi lebih sering dan merusak ekosistem yang ada. Maka, pembangunan rendah karbon tidak lagi menjadi opsi tambahan, melainkan bagian inti dari strategi pembangunan nasional.

Sejak tahun 2020, pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan pendekatan ini ke dalam dokumen Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020–2024 & RPJMN 2025-2029) melalui inisiatif Low Carbon Development Initiative (LCDI). Strategi ini dirancang berbasis bukti, didukung oleh model proyeksi ekonomi dan lingkungan, serta menghasilkan lima pilar utama: transisi energi bersih, tata kelola lahan dan kehutanan berkelanjutan, pengembangan transportasi rendah emisi, penguatan industri hijau dan ekonomi sirkular, serta reformasi perencanaan dan investasi berbasis lingkungan.

Kebijakan ini tidak lepas dari tantangan besar, seperti ketimpangan kapasitas daerah, minimnya investasi sektor swasta di teknologi hijau, serta ketergantungan tinggi terhadap energi fosil. Meski demikian, peluang besar juga terbuka lebar. Menurut laporan Bank Dunia, transisi menuju ekonomi rendah karbon berpotensi menciptakan lebih dari 15 juta lapangan kerja hijau secara global, mendorong kemandirian energi, dan meningkatkan ketahanan iklim masyarakat miskin dan rentan.

Pembangunan rendah karbon bukan sekadar agenda lingkungan, tetapi sebuah transformasi menyeluruh yang menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan tata kelola. Jika dijalankan secara konsisten dan inklusif, Indonesia memiliki peluang besar untuk tidak hanya mencapai target iklimnya, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai negara berkembang yang berani dan visioner dalam menjawab tantangan abad ini. (ANA)

 

Referensi

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Low Carbon Development Initiative (LCDI). Bappenas. https://lcdi-indonesia.id

Institute for Essential Services Reform (IESR). (2022). Indonesia’s Enhanced NDC: Ambition and Challenges. IESR. https://iesr.or.id/en/the-increase-of-emission-reduction-targets-in-indonesias-ndc-is-still-a-long-way-to-mitigating-a-climate-crisis

UNDP Climate Promise. (2023). Indonesia’s Updated NDC. UNDP. https://climatepromise.undp.org/what-we-do/where-we-work/indonesia