Sudah lebih dari satu dekade sejak Gunung Merapi meletus hebat di tahun 2010, namun cerita relokasi warganya belum benar-benar usai. Di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Kalitengah Lor, Dusun Kalitengah Kidul, dan Dusun Srunen, masih banyak warga yang bertahan di zona merah, atau Kawasan Rawan Bencana (KRB) III.

Tinggal di kawasan ini artinya terus hidup berdampingan dengan risiko. Tapi temuan tahun 2024, muncul sebuah babak baru dimana warga tak lagi hanya menunggu bantuan pemerintah, mereka sudah mulai bergerak mandiri, merancang masa depan yang lebih aman. Salah satu contohnya datang dari Dusun Srunen di mana sejumlah keluarga mulai mencari lahan relokasi secara mandiriĀ  ke lokasi yang lebih layak huni yaitu di Dusun Ngancar dengan radius 11 km dari puncak Gunung Merapi.

Cerita ini penting bukan semata karena adanya perpindahan tempat. Lebih dari itu, ini adalah kisah tentang kesadaran risiko, keberanian mengambil keputusan, dan lahirnya kemandirian warga di tengah keterbatasan. Relokasi secara mandiri menunjukkan bahwa masyarakat di zona rawan tidak lagi sekadar menunggu solusi dari luar, tapi juga mampu membangun solusinya sendiri, dengan segala keterbatasan yang ada.

Apalagi, di tengah kerentanan wilayah dan kompleksitas hukum lahan, langkah mandiri warga ini justru memperlihatkan arah baru pembangunan berbasis komunitas dari bawah ke atas, dari rakyat untuk rakyat.

Dusun Ngancar, lokasi relokasi baru itu, berjarak sekitar 11 km dari puncak Gunung Merapi. Lahan yang dipilih telah disiapkan secara legal dan administratif dan terbagi menjadi kavling-kavling dengan luasan sesuai kemampuan dan aset yang dimiliki, tanpa melupakan luasan lahan standar rumah layak huni. Sebanyak 28 Kepala Keluarga (KK) dari Dusun Srunen telah memiliki bidang tanah seluas total 8.000 m², yang sudah bersertifikat atas nama masing-masing KK. Hal ini adalah sebuah capaian yang belum tentu bisa dicapai dalam relokasi formal sekalipun.

Tak hanya itu, kawasan ini punya akses jalan kabupaten, tersambung jaringan listrik, saluran drainase, dan dikelilingi fasilitas sosial seperti Masjid Al Jihad, TK dan SD Cepitsari, serta SMP Sunan Kalijogo Kapanewon Cangkringan. Masyarakat sendiri yang membagi lahan, menyusun blok kavling, bahkan ada yang sudah menyiapkan pembangunan rumah.

Di sisi lain, langkah ini juga menunjukkan bahwa kolaborasi informal antara warga, tokoh masyarakat, dan dana gotong royong antar warga bisa jadi motor kekuatan perubahan. Tanpa terlalu bergantung pada birokrasi panjang, mereka bisa menciptakan permukiman baru yang lebih aman, legal, dan punya prospek keberlanjutan.

Langkah warga Dusun Srunen yang berpindah ke Dusun Ngancar menjadi gambaran bagaimana masyarakat bisa tumbuh menjadi aktor utama dalam proses pemulihan pascabencana. Mereka tidak menunggu datangnya proyek bantuan, melainkan memulai sendiri perubahan itu, dimulai dari mengamankan tanah, mengurus sertifikat, hingga membentuk komunitas baru di lahan relokasi.

Inisiatif seperti ini bukan hanya layak didukung, tapi juga layak menjadi model. Pemerintah bisa masuk sebagai mitra, bukan penentu tunggal. Karena seringkali, yang paling tahu apa yang dibutuhkan adalah mereka yang mengalami langsung.

Cerita dari Dusun Srunen ke Dusun Ngancar adalah bukti bahwa pemulihan pasca bencana tak melulu soal anggaran dan proyek besar. Kadang, cukup dimulai dari sepetak tanah, sekelompok tetangga, dan tekad untuk hidup lebih aman melalui relokasi secara mandiri. (SHH)