Banjir masih menjadi bencana hidrometeorologi paling sering terjadi di Indonesia. Secara keseluruhan, sepanjang tahun 2024, BNPB mencatat ada 2.107 kejadian bencana, dengan banjir menjadi yang terbanyak dengan 1.088 kejadian yang terjadi di berbagai wilayah, dengan dampak bagi ratusan ribu keluarga dan kerugian infrastruktur yang tidak sedikit. Tingginya intensitas hujan akibat perubahan iklim, diperparah oleh kerusakan lingkungan dan tata ruang yang tidak adaptif, menjadikan banyak kawasan, baik kota maupun desa, rentan terhadap banjir berulang.
Salah satu contohnya adalah Desa Tanjungkarang di Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Pada awal tahun 2025, lebih dari 2.300 keluarga terdampak akibat genangan setinggi 20–40 cm yang melumpuhkan permukiman dan akses jalan desa. Persoalan klasik seperti tersumbatnya saluran air, buruknya drainase, hingga belum rampungnya normalisasi Sungai Wulan memperlihatkan lemahnya ketahanan wilayah terhadap curah hujan ekstrem.
Masalah ini tidak semata persoalan teknis, tetapi juga perencanaan ruang yang belum berpihak pada keberlanjutan. Drainase yang menyempit, aliran air yang terhambat oleh sampah, serta alih fungsi lahan yang tak terkendali memperbesar risiko bencana hidrometeorologi di kawasan yang rentan. Menghadapi kondisi ini, desa-desa di kawasan rawan banjir memerlukan pendekatan desain yang lebih holistik dan adaptif terhadap iklim.
Arsitektur bioklimatik menawarkan kerangka solusi yang tidak hanya mengatasi masalah teknis, tetapi juga memperkuat sistem ekologis dan sosial desa. Dengan merancang ulang masterplan desa berdasarkan prinsip iklim lokal, seperti orientasi bangunan yang mengikuti pergerakan matahari, optimalisasi ventilasi alami, pemanfaatan material lokal, dan sistem pemanenan air hujan, risiko banjir dapat ditekan sekaligus efisiensi energi ditingkatkan.
Tak kalah penting, integrasi ruang terbuka hijau, lahan basah, dan zona tangkapan air dalam desain desa menciptakan fungsi ekologis sebagai “desa spons”. Konsep ini tidak hanya meningkatkan daya serap air, tetapi juga membangun ketahanan ekologis jangka panjang. Pengembangan koridor ekologis dan infrastruktur hijau mampu memperkuat hubungan antar ekosistem, sekaligus memperkaya ruang publik yang mendukung kehidupan sosial warga.
Pendekatan bioklimatik sejalan dengan arah pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam menjamin ketersediaan air bersih, sanitasi yang layak, dan perlindungan terhadap bencana. Desa Tanjungkarang dan banyak desa lain dengan kondisi serupa, dapat menjadi laboratorium hidup penerapan arsitektur adaptif, sebagai upaya menghadirkan ruang tinggal yang lebih tangguh dan berkelanjutan di tengah krisis iklim.
Arsitektur bioklimatik tidak berdiri sendiri sebagai solusi teknis, melainkan menjadi bagian dari pendekatan perencanaan yang kontekstual dan berakar pada pemahaman iklim mikro serta kondisi sosial-budaya setempat. Di tingkat tapak, desain atap hijau, taman hujan (rain garden), dan penggunaan material berpori seperti paving blok ramah air dapat membantu memperlambat limpasan air dan memperbesar daya serap tanah. Pendekatan ini mengutamakan harmoni antara bangunan dan lingkungan, sehingga setiap elemen arsitektur tidak hanya estetis tetapi juga fungsional dalam mengelola air, panas, dan aliran udara.
Lebih jauh, arsitektur bioklimatik juga mendorong pemberdayaan masyarakat desa dalam proses perencanaan. Alih-alih mengandalkan solusi mahal dan top-down, pendekatan ini justru membuka ruang partisipatif, di mana warga dapat terlibat dalam membangun hunian dan ruang publik yang adaptif dan hemat energi. Misalnya, pemanfaatan kembali material lokal seperti bambu atau kayu jati, serta penataan halaman rumah dengan tanaman endemik yang memiliki kemampuan retensi air tinggi, menjadi contoh penerapan prinsip bioklimatik yang berbiaya rendah namun berdampak besar. Dengan demikian, arsitektur bioklimatik menjadi strategi transformatif yang menggabungkan rekayasa, kearifan lokal, dan keberlanjutan. (MMa)
Referensi
- Muria News (2025). Banjir Tanjungkarang Kudus, 2.300 Keluarga Terdampak.
https://berita.murianews.com/muhamad-fatkhul-huda/433318 - ISK News (2025). Desa Tanjungkarang Jati Kudus Kembali Banjir, Gang-Gang Ditutup Demi Keamanan.
https://isknews.com/desa-tanjungkarang-jati-kudus-kembali-banjir-gang-gang-ditutup-demi-keamanan/ - Fathy, H. (1986). Natural Energy and Vernacular Architecture: Principles and Examples with Reference to Hot Arid Climates. University of Chicago Press.
- Olgyay, V. (2015). Design with Climate: Bioclimatic Approach to Architectural Regionalism. Princeton University Press.