Desa Ponggok di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, telah dikenal luas sebagai desa wisata berbasis mata air atau umbul. Keberhasilan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam mengelola wisata air terutama Umbul Ponggok, mampu menarik lebih dari 400.000 pengunjung per tahunnya (Dispar Klaten, 2022), menjadikan desa ini sebagai salah satu ikon wisata pedesaan di Indonesia. Pendapatan desa yang semula relatif kecil meningkat signifikan dari hanya sekitar Rp80 juta pada awal tahun 2009, melonjak hingga menembus Rp7 miliar pada tahun 2017. Keberhasilan ini memperkuat ekonomi lokal, membuka lapangan kerja, dan menempatkan Desa Ponggok dalam daftar desa wisata paling inspiratif di tingkat nasional. Namun, di balik kesuksesan tersebut, muncul tantangan baru yakni tekanan terhadap sumber daya air, penataan ruang yang semakin padat, manajemen sampah yang belum optimal, serta kebutuhan transformasi digital dan ketahanan iklim. Kondisi ini membuat penyusunan masterplan Desa Ponggok menjadi kebutuhan mendesak agar pembangunan tetap inklusif, berkelanjutan, dan adil bagi seluruh warga.
Desa Ponggok memiliki karakter unik sebagai desa berbasis air, dengan lebih dari 10 mata air (umbul) yang menjadi sumber wisata, irigasi pertanian, sekaligus pasokan air bersih. Keunggulan inilah yang melahirkan branding “desa air” dan menjadikan Desa Ponggok terkenal. Namun, peningkatan jumlah wisatawan setiap tahun membawa konsekuensi serius. Limbah sabun dan deterjen dari aktivitas wisatawan, fluktuasi debit air di musim kemarau, serta sampah plastik dari pengunjung menjadi ancaman langsung bagi kualitas lingkungan. Debit Umbul Ponggok yang rata-rata 800 liter per detik mulai menunjukkan penurunan di musim kering, sementara kualitas air terindikasi menurun akibat kontaminasi aktivitas wisata. Jika tidak dikendalikan, daya tarik utama desa ini bisa menurun drastis.
Selain itu, tata ruang kawasan wisata menghadapi tekanan besar. Pertumbuhan homestay, warung, dan fasilitas penunjang di sekitar umbul tidak sepenuhnya terkendali. Jalan desa menjadi macet saat akhir pekan, parkir liar menutup akses, dan bangunan yang berdiri tanpa panduan desain merusak estetika kawasan. Data Pemerintah Desa Ponggok (2023) menunjukkan sedikitnya ada lebih dari 120 homestay dan rumah sewa yang tumbuh dalam radius 1 km dari Umbul Ponggok, sebagian tanpa izin resmi. Masalah serupa juga muncul pada sampah: produksi sampah melonjak hingga 4–5 ton per minggu saat akhir pekan, sementara kapasitas TPS (Tempat Pembuangan Sementara) desa hanya 1,5 ton. Akibatnya, sebagian sampah berakhir di saluran air atau lahan kosong, mengancam kebersihan dan citra destinasi.
Di sisi ekonomi, walau pendapatan desa dan pelaku usaha wisata meningkat, distribusi manfaat belum merata. Sebagian besar keuntungan masih terkonsentrasi pada BUMDes dan pengelola utama umbul. Banyak UMKM lokal kesulitan bersaing karena keterbatasan standar kualitas produk, kemasan, serta akses pemasaran digital. Misalnya, dari 70 UMKM kuliner yang terdata, hanya 20% yang memiliki sertifikat halal atau izin PIRT. Hal ini mengurangi daya saing produk Desa Ponggok di pasar yang lebih luas. Transformasi digital pun masih terbatas: sistem tiket daring belum terintegrasi penuh, dan dashboard data desa baru mencatat sebagian kunjungan. Padahal, teknologi digital sangat penting untuk memantau arus pengunjung, memperkuat transparansi tata kelola, dan meningkatkan efisiensi pendapatan.
Tak kalah penting, ancaman perubahan iklim mulai terasa. Fluktuasi curah hujan, ancaman kekeringan, dan menurunnya kualitas DAS mikro di sekitar Desa Ponggok berpotensi memengaruhi suplai mata air. Penelitian dari Universitas Gadjah Mada (2022) mencatat penurunan vegetasi di sempadan sungai desa sebesar 15% dalam satu dekade terakhir, yang berdampak langsung pada debit dan kejernihan umbul. Jika tidak segera dilakukan konservasi, daya dukung wisata berbasis air akan semakin rentan. Selain itu, aspek inklusivitas sosial juga menjadi isu: tidak semua kelompok masyarakat terutama perempuan, pemuda, dan kelompok rentan terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi wisata. Tanpa tata kelola yang partisipatif, ketimpangan sosial dapat melebar dan semakin luas jangkauannya.
Kesuksesan Desa Ponggok dalam mengelola wisata air menunjukkan bahwa desa mampu mandiri melalui aset lokal. Namun, keberhasilan ekonomi ini sekaligus membuka tantangan baru yang tidak bisa diabaikan. Tanpa perencanaan jangka panjang, keberlanjutan Desa Ponggok bisa terancam. Oleh karena itu, masterplan desa perlu dirancang dengan fokus pada tujuh prioritas utama: perlindungan sumber daya air, penataan ruang wisata, manajemen sampah dan sanitasi berbasis sirkular, penguatan UMKM, transformasi digital, adaptasi iklim, dan tata kelola inklusif. Dengan pendekatan tersebut, Desa Ponggok dapat terus menjadi ikon desa wisata yang bukan hanya mendatangkan manfaat ekonomi, tetapi juga menjaga kualitas lingkungan, memperkuat kohesi sosial, dan menjadi model pembangunan desa berkelanjutan di Indonesia. (AHa)
Penulis : Afri Haniza
Sumber
Dinas Pariwisata Kabupaten Klaten. (2022). Profil Desa Wisata Ponggok. Klaten: Dispar Klaten.
Good News From Indonesia. (2023). Ponggok: Desa Wisata Air yang Mendunia. Diakses dari https://www.goodnewsfromindonesia.id
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. (2021). SDGs Desa: Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kemendesa PDTT.
Nagantour. (2024). Umbul Ponggok Klaten, Surga Wisata Air di Jawa Tengah. Diakses dari https://nagantour.com
Pemerintah Desa Ponggok. (2023). Peta Interaktif Desa Ponggok. Diakses dari https://ponggok.desa.id