Hanya sebagian kecil kampung Dayak yang masih mempertahankan bentuk permukiman tradisional secara utuh. Mayoritas kini telah mengalami transformasi menjadi permukiman modern seiring masuknya pembangunan dan infrastruktur baru (Fera, Ratri, dan Ishardanti, 2024). Bayangkan sebuah kampung tanpa pagar atau dinding pembatas, di mana setiap penduduk akan tahu batas wilayahnya tanpa harus ditandai secara fisik. Batas itu dibentuk bukan oleh garis teknis, melainkan oleh kesepakatan sosial yang diwariskan turun-temurun. Rumah-rumah memanjang sejajar aliran sungai, menyatu dengan lanskap alam yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Bagi masyarakat Dayak, kampung adalah pusat kehidupan. Bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang sosial budaya dan ekonomi yang saling terhubung. Sungai menjadi titik orientasi utama karena menyediakan air, makanan, serta menjadi jalur transportasi. Di kampung-kampung Dayak, rumah-rumah tidak dibangun menghadap sembarang arah, melainkan mengikuti alur sungai atau jalan utama di daerah pedalaman.
Setiap rumah terhubung dengan kebun di bagian belakang. Di kebun ini masyarakat menanam buah seperti kelapa, durian, rambutan, dan duku. Selain itu juga ditanam pohon karet dan rotan sebagai sumber penghasilan masyarakat. Setelah kebun biasanya terdapat ladang tempat menanam padi atau tanaman lain, sedangkan ujung kampung berbatasan langsung dengan hutan. Semua elemen ruang ini tersusun dalam lapisan yang alami dan berkesinambungan tanpa harus dibuat secara paksa.
Sayangnya model kampung seperti ini semakin jarang dijumpai. Pembangunan modern seringkali menggantikan pola hidup tradisional dengan beton dan infrastruktur yang seragam. Padahal kampung Dayak mengajarkan banyak hal tentang hidup selaras dengan alam. Mereka tidak merusak hutan tetapi hidup berdampingan dengannya.
Di saat dunia mencari cara hidup yang lebih berkelanjutan kampung-kampung seperti milik Dayak seharusnya menjadi contoh. Bukan hanya untuk dilestarikan sebagai warisan budaya tetapi juga sebagai model hidup masa depan. Kita bisa belajar dari mereka bahwa membangun tidak harus merusak alam dan bahwa modern tidak selalu lebih baik jika kehilangan akar dan arahnya. (MRa)
Sumber:
Amin, J. J. A., Rifai, M. A., Purnomohadi, N., & Faisal, B. (2016). Mengenal arsitektur lanskap Nusantara.
(Fera, Ratri and Ishardanti, 2024)Fera, D.M., Ratri, D.A.R. and Ishardanti, R. (2024) ‘Pengelolaan hutan berkelanjutan masyarakat Dayak’, Environmental, Social, Governance and Sustainable Business, 1(1), pp. 18–32. Available at: https://doi.org/10.61511/esgsb.v1i1.2024.758.
(‘Pembimbing: Prof. Ir. Nindyo S, M. Phil, Ph. D’, no date)Fera, D.M., Ratri, D.A.R. and Ishardanti, R. (2024) ‘Pengelolaan hutan berkelanjutan masyarakat Dayak’, Environmental, Social, Governance and Sustainable Business, 1(1), pp. 18–32. Available at: https://doi.org/10.61511/esgsb.v1i1.2024.758.
www.kompasiana.com Available at: https://www.kompasiana.com/andreasketapang6628/6400c1554addee16e544c852/kearifan-suku-dayak-dalam-memelihara-lingkungan-hidup
www.kompasiana.com Available at: https://www.kompasiana.com/triatmoko5467/673d3a0ac925c459371db512/rumah-panjang-simbol-kehidupan-kolektif-dan-identitas-budaya-dayak?page=all&page_images=3#goog_rewarded
kabardesa.sanggaukab.id Available at: https://kabardesa.sanggaukab.id/2023/10/02/menjaga-keberlanjutan-adat-dan-tradisi-suku-dayak-di-era-modern-tantangan-dan-solusi/
Fera, D.M., Ratri, D.A.R. dan Ishardanti, R. (2024) ‘Pengelolaan hutan berkelanjutan masyarakat Dayak’, Environmental, Social, Governance and Sustainable Business, 1(1), pp. 18–32.