Indonesia memiliki kekayaan dan keragaman yang begitu banyak, begitupun dengan suku bangsanya. Wilayah yang didiami oleh kelompok suku dengan tetap melestarikan adat dan istiadat masih sering dijumpai di Indonesia. Desa adat, merupakan julukan desa yang didalamnya masih menjunjung tinggi nilai kearifan lokal, adat, dan tradisi yang telah turun temurun dari nenek moyang terdahulu.
Keunikan desa adat digambarkan melalui salah satu desa yang berada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat yaitu Desa Adat Bayan. Desa Adat Bayan adalah desa tua yang terletak di lereng utara Gunung Rinjani. Secara administratif, Desa Adat Bayan memiliki luas sekitar 2.600 hektar dan merupakan salah satu dari 9 desa yang ada di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Jumlah penduduk di desa ini mencapai 5.373 jiwa yang sebagian besar berprofesi sebagai petani.
Desa Adat Bayan memiliki keterikatan adat dengan desa lain. Satu desa dengan desa lain memiliki peran dan tugas masing-masing sesuai dengan tatanan sosialnya. Tatanan sosial dan hukum adat mengatur dan mengikat secara keseluruhan sendi kehidupan masyarakat Desa Adat Bayan. Hubungan tersebut mengatur antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan alam, serta hubungan antar sesama manusia. Hukum tersebut menciptakan hukum adat yang pertimbangan utamanya ialah memikirkan kebutuhan air untuk mencukupi kebutuhan pokok masyarakat hingga anak cucu di masa yang akan datang. Hukum ini sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep tersebut diterapkan oleh masyarakat Desa Adat Bayan dengan menjaga hulu sampai hilir sungai, dengan tetap menjunjung kemandirian nilai-nilai lokal.
Untuk menjaga kelestarian air, maka kelestarian hutan menjadi sangat penting. Oleh karenanya, hukum adat sangat ketat dalam mengatur kelestarian hutan. Hutan adat memiliki fungsi sosial, ekologi dan ekonomi yang memberikan kehidupan bagi masyarakat Desa Adat Bayan. Terdapat 8 hutan adat yang diatur dalam hukum adat, yaitu Hutan Adat Pangempokan, Bangket Bayan, Tiurarangan, Mandala, Lokoq Getaq, Singang Borot, Sambel, dan Montong Gedeng. Untuk menjaga kelestarian hukum adat, masyarakat Desa Adat Bayan menggunakan ‘awiq-awiq’ atau sanksi apabila terdapat hukum adat yang dilanggar. Terdapat lima peraturan hukum adat masyarakat Desa Adat Bayan, yaitu:
- Dilarang mengambil, memetik, mencabut, menebang, menangkap satwa, dan membakar pohon/kayu-kayu yang mati yang terdapat di kawasan hutan adat.
- Dilarang menggembala ternak di sekitar pinggir dan di dalam kawasan hutan adat yang dapat menyebabkan rusaknya flora dan fauna hutan.
- Dilarang mencemari/mengotori sumber mata air di dalam kawasan hutan adat.
- Dilarang meracuni Daerah Aliran Sungai (DAS) menggunakan fottas, decis, setruman, dan lainnya di sekitar hutan dan di luar kawasan hutan adat yang dapat menyebabkan terbunuhnya biotik hidup yang ada di sungai.
- Bagi setiap pemakai/pengguna air baik perorangan maupun kelompok diwajibkan membayar iuran/sawinih kepada pengelola hutan dan sumber mata air.
Selain hukum adat yang mengikat, masyarakat Desa Adat Bayan juga memiliki bangunan tradisional yang unik, yaitu Berugak, Geleng, dan Bale Mengina. Berugak merupakan bale panggung yang digunakan masyarakat untuk menerima tamu dan bersosialisasi dengan tetangga. Materialnya menggunakan kayu berkaki empat (saka empat) dan enam (saka enam). Geleng merupakan bangunan yang digunakan sebagai lumbung pangan di desa dengan menggunakan empat tiang kayu utama sebagai penyangga. Kemudian terdapat Bale Mengina yang digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat tradisional Bayan. Nilai-nilai lokal ini yang masih dijunjung tinggi masyarakat Desa Adat Bayan.
Dengan keunikan yang dimiliki oleh Desa Adat Bayan, masyarakat luar tertarik untuk berkunjung sehingga memunculkan aktivitas pariwisata disana. Sektor pariwisata digunakan sebagai peningkatan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas ekologi dan sosial budaya. Potensi alam serta adat istiadat dikemas menjadi Desa Wisata Budaya. Produk wisata yang ditawarkan antara lain pemandian alam, perkenalan budaya sejarah Islam di Lombok, kuliner, kesenian, dan kerajinan asli masyarakat Desa Adat Bayan.
Tidak hanya di Desa Adat Bayan saja, masih banyak Desa Adat di Indonesia yang bangga dengan hasil budaya mereka sendiri dan masih menjunjung nilai-nilai lokal, dalam pengelolaan hutan adat pun juga sama. Adanya hukum adat yang menjadi common law bagi masyarakat, dapat menjaga kelestarian hutan sehingga ketersediaan bahan makanan di hutan tetap adat. Meski begitu, tidak cukup dengan adanya hukum adat saja. Kesiapan daerah diperlukan untuk mengatur dan mengintegrasi hukum adat dalam peraturan daerah. Pemerintah daerah seharusnya menjadi poros utama dalam mengatur penataan ruang yang berbasis adat dan istiadat setempat.
Sama seperti hutan adat, pengelolaan sektor pariwisata di desa adat juga perlu diperhatikan. Sektor pariwisata diibaratkan seperti bak pisau yang dapat melukai diri sendiri apabila tidak dimanfaatkan dengan baik. Perlindungan budaya dan nilai desa adat jangan sampai tergerus dengan adanya dinamisasi dari sektor pariwisata. Disinilah peran tokoh masyarakat dan orang tua dalam mengingatkan generasi muda agar tidak tergerus budaya modern, dengan tetap mengajarkan untuk menjunjung kemandirian dengan nilai-nilai lokal dalam desa adat. (SRNF/MEIP/CARITRA)
Artikel ini ditulis berdasarkan Webinar Masterplan Desa #4 “Desa Adat: Menjunjung Kemandirian dengan Nilai-Nilai Lokal”, tanggal 19 Juni 2020