Bagi sebagian orang, masa pandemi ini mungkin mulai terasa melelahkan. Banyak pihak melihat masa pandemi ini sebagai sebuah bentuk ketidakpastian. Meski banyak penelitian sedang dilakukan mengenai pandemi, hingga kini belum ada data resmi yang valid mengenai kapan masa pandemi akan berakhir. Banyak negara masih jatuh bangun dengan gelombang SARS-COV2. Menjaga jarak dan tidak banyak bersosialisasi kini menjadi the new normal di lingkungan masyarakat. Bagaimana melihat kondisi ini dalam konteks desa wisata?

Tidak dipungkiri bahwa masyarakat kini memiliki pergeseran bentuk rutinitas, pekerjaan, hingga gaya hidup. Sejak diberlakukannya Work from Home di berbagai kota dari bulan Maret 2020 lalu, kita bisa melihat ada yang berbeda dari tatanan sosial masyarakat di sekitar kita. Kegiatan yang melibatkan orang banyak sudah jarang sekali kita temui. Pemandangan sekumpulan remaja atau keluarga yang nongkrong di restoran menjadi langka. Masyarakat lebih sering memasak di rumah dan mengerjakan segala kegiatan hanya dengan keluarga inti di rumah. Ketergantungan masyarakat dengan restoran, area wisata, hingga tempat-tempat ramai lainnya kini tidak terlihat. The new normal ini menjadi hal yang tidak bisa dihindari.

Suasana desa yang sepi dari pengunjung luar daerah selama masa pandemi kini menjadi the new normal dalam konteks desa wisata. Meski begitu, pembatalan kunjungan calon wisatawan ke desa wisata mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Sejumlah 97 desa wisata yang menjadi responden penelitian Desa Wisata Institute* menyatakan bahwa selama bulan Maret mereka mengalami beragam kerugian, dari dibawah 25 juta rupiah (48 desa atau 49%), 25 juta hingga 100 juta rupiah (34 desa atau 35,1%), dan lebih dari 100 juta rupiah (15 desa atau 15,5%). Selain itu, sejumlah 3.539 warga yang bekerja dan beraktivitas di desa wisata telah kehilangan pekerjaan mereka. Pemerintah mengadakan program padat karya tunai untuk menyasar masyarakat yang sebelumnya berkontribusi dalam kegiatan pariwisata di desa selama pandemi. Akan tetapi, program ini baru menyasar 30% warga saja. Kemandirian desa-desa wisata, perlahan mulai meredup.

Kemandirian desa wisata memang diuji dalam masa pandemi ini. Desa wisata yang memiliki banyak pemasukan dari kegiatan wisata kini harus mengatur ulang strategi untuk tetap bertahan dengan kemandirian yang dibentuk. Satu kekuatan yang menjadi keuntungan dari desa wisata adalah tidak hilangnya pekerjaan utama masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya masyarakat (89,6%) di desa wisata yang masih memiliki pekerjaan utama diluar sektor pariwisata. Dari 89,6% tersebut, sejumlah 59,8% penduduk di hidup dari sektor pertanian dan perkebunan. Selain itu, 11,3% bekerja sebagai wiraswasta, 11,3% bekerja di bidang kerajinan, 4,1% bekerja sebagai karyawan swasta, dan 2,1% bekerja di bidang perikanan atau budidaya ikan.

Salah satu contoh Desa yang tetap mandiri selama masa pandemi ini adalah Desa Bakas di Bali. Di Desa Bakas, lahan yang sebelumnya dimanfaatkan untuk atraksi wisata saat ini ditanami kangkung agar tetap produktif. Warga Desa Bakas yang biasanya mengelola objek wisata kini kembali menekuni sektor pertanian, perdagangan, dan peternakan. Menurut pengurus Desa Bakas, tidak ada pengalihan fungsi karena sejak awal konsep desa wisata di Bakas memang berbasis pertanian sehingga sewaktu-waktu aktivitas warga di Desa Bakas dapat kembali ke pertanian.

Cerita lain tentang kemandirian desa wisata datang dari Desa Nglanggeran di Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. Salah satu desa wisata yang terkenal di D.I. Yogyakarta ini biasanya meraup omset hingga miliaran rupiah dalam setahun dengan ratusan ribu pengunjung. Tahun ini, Desa Nglanggeran menutup akses bagi para pengunjung sejak 23 Maret 2020. Masyarakat di Desa Nglanggeran kini rutin melaksanakan “Aksi Reresik Wisata Jogja” yaitu kegiatan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan destinasi wisata dan lingkungan rumah. Selain itu, masyarakat kini kembali ke kegiatan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Masa pandemi juga digunakan masyarakat untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas pendukung di destinasi wisata dan peningkatan kapasitas SDM pengelola desa wisata. Destinasi wisata dan produsen kakao di Desa Nglanggeran juga tetap menjaga hubungan dan komunikasi dengan masyarakat di luar desa melalui media sosial. Selama bulan Ramadhan ini, Desa Nglanggeran melakukan kolaborasi inovasi dengan beberapa pihak dalam program wisata virtual “Ngabubutrip” yaitu wisata secara daring yang terbuka untuk umum dan mengunjungi berbagai area wisata di Indonesia secara daring setiap hari Minggu.

Agrowisata dan Embung Nglanggeran yang kini sepi pengunjung

Agrowisata dan Embung Nglanggeran yang kini sepi pengunjung

 

Poster Promosi Ngabubutrip di Desa Wisata Nglanggeran tanggal 3 Mei 2020

Poster Promosi Ngabubutrip di Desa Wisata Nglanggeran tanggal 3 Mei 2020

 

Sebelum menjadi desa wisata, desa adalah sebuah desa dengan segala bentuk kemandiriannya. Kemandirian desa wisata tanpa kegiatan wisata yang ramai oleh pengunjung adalah the new normal yang harus kita hadapi. Saat pandemi datang, desa wisata harus tetap mandiri dan tetap berkarya. Desa wisata kini sedang menutup pintunya bagi para pengunjung, akan tetapi semangat untuk menghidupkan kegiatan di desa, membangkitkan kembali kemandirian desa dan berbagi dengan masyarakat di luar desa harus tetap ada. (MEIP/CARITRA)

 

 

 

——

*Desa Wisata Institute merupakan lembaga pendampingan dan pelatihan SDM desa wisata yang didirikan pada 2019. Desa Wisata Institute didirikan dengan tujuan mengawal perjuangan desa-desa di Indonesia untuk mencapai kemandirian melalui pengembangan dan pemanfaatan potensi desa

 

Referensi:

Raharjana, Destha T. “Pandemi Covid -19 dan Imbasnya bagi Desa Wisata”. Webinar Ngabuburit Bareng Desa Wisata #4 tanggal 30 April 2020.

Suputra, Eka Mita. ”Pandemi Corona, Tempat Atraksi Wisata Desa Bakas Kembali Jadi Lahan Kangkung”. https://bali.tribunnews.com/2020/04/29/pandemi-corona-tempat-atraksi-wisata-desa-bakas-kembali-jadi-lahan-kangkung. Diakses pada 3 Mei 2020.

Handoko, Sugeng. “Merenungi Covid-19 dalam Konteks Pariwisata Berkelanjutan di Desa Wisata Nglanggeran”. Webinar Ngabuburit Bareng Desa Wisata #3 tanggal 29 April 2020.